Minggu, 29 Juni 2014

Seabad Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru 

Tetap Pertahankan Pondok Santri Seluas 2×3 Meter

Pondok Pesatren (Ponpes) Musthafawiyah yang sering disebut dengan Pesatren Purba Baru sudah berusia seabad. Di usia itu, pesantren ini masih mempertahankan fasilitas pemondokan santri yang tak modern. Hanya, sistem pendidikan yang diset modern.  

M Sahbainy Nasution, Medan
Dari Medan, butuh 12 jam perjalanan darat untuk sampai ke pesantren yang berada di pinggir aliran Aek (Sungai) Singolot tersebut. Cukup melelahkan. Apalagi perjalanan harus melalui jalan berliku, menembus perbukitan di Pegunungan Bukit Barisan. Belum lagi infrastruktur jalan yang belum bisa diandalkan. Berlubang dan sempit. Tapi rasa letih terasa hilang begitu menghirup udara segar di Ponpes Musthafawiyah yang berada di Desa Purba Baru, Kecamatan Lembah Sorik Merapi, Kabupaten Mandailing Natal itu.
Melihat santri memakai sarung dan berciri khas sorban putih menjadi pemadangan yang menarik. Beberapa dari mereka juga memakai jas hitam – tampaknya lebih untuk menghangatkan tubuh dari dinginnya udara di tempat itu – membuat mata yang letih menjadi segar.

Belum lagi ketika melihat beberapa santri lainnya – baik lelaki dan perempuan – memakai baju khas berwarna hijau, semuanya menjadi istimewa. Ya, saat Sumut Pos hadir di sana, santri memang sedang memperingati seabad usia pesantren mereka.
Pesatren Musthafawiyah ini mememiliki 11 hektar yang terpakai untuk proses belajar dan mengajar serta pemondokan, sedangkan 20 hektar lagi dijadikan kebun, ternak hewan, dan selebihnya masih hutan. Saat ini jumlah santri sebanyak 8300 orang yang berasa dari berbagai daerah Sumatera Utara dan bahkan Indonesia. Untuk jumlah alumni, Ponpes ini memliki 116.000 orang.
Kekhasan Ponpes ini adalah pemondokan santri yang jauh dari modern. Tercatat ada 20 ribuan pondok berjejer. Tidak besar. Malah, sangat kecil. Ukurannya 2×3 meter. Pondok sempit dan hanya dipakai tidur ini berlapiskan atap terbuat dari daun kelapa dan beralas papan-papan yang sudah usang. Jangankan TV, radio dua band saja tak terlihat di pondok mungil itu. Menariknya lagi, pondok itu diisi oleh dua santri!
Seorang santri, Araman (13), baru selesai mandi di Aek Singolot yang tak jauh dari pondoknya. Dia berasal dari Kota Nopan. Dan, dia masih duduk di kelas 1 (satu). Sumut Pos berkesempatan mengintip isi pondoknya. Hasilnya, yang terlihat di dalam ruang kecil itu hanya beberapa pakaian dan satu kompor, dan lampu minyak.

Bertetangga dengan Araman, ada pondok yang ditempati Abdul Ghani (17) yang sudah kelas 5 (lima) yang berasal dari Berastagi, Anwar (17) juga kelas 5 (lima) dan Aliudin (17) yang masih kelas 4 (empat) yang sama-sama berasal dari kota Nopan.
Kata Anwar, dia mendapat banyak pelajaran karena tinggal di gubuk kecil itu seperti kemandirian. “Selain itu, menumbuhkan rasa kebersamaan,” kata santri yang bercita-cita jadi tentara itu.
Aek Singolot dan pesatren tak bisa dilepaskan karena sungai itu adalah saksi sejarah kehidupan para santri. Air di sungai itu bukanlah air yang tawar. Air sungai itu agak berasa kelat (sepat). Dan, dipercayai sebagai obat. Konon, air ini pernah didoakan oleh Syeikh Musthafa bin Husein bin Umar Nasution sebagai pendiri pondok pesatren.
Santri perempuan mendapati tempat yang berbeda dengan santri lelaki. Mereka tidak tinggal di pondok kecil pinggir sulngai dan Jalan Lintas Sumatera. Mereka diberikan tempat yang memang disediakan oleh pengurus pesantren. Bentuknya persis dengan asrama pesantren kebanyakan.
Satu ruangan yang dimaksud diisi oleh 25 orang. Satu di antaranya adalah Dina (17), santri asal Aceh Singkil yang duduk di kelas 4 (empat). Saat berbincang dengan Sumut Pos, Dina mengaku memilih pesantren di Purba Baru karena dianggapnya tempat itu beda dengan tempat lainnya. Terutama soal kedisiplinan.
Pesatren Musthafawiyah berdiri pada 1912 yang didirikan oleh Syeikh Musthafa bin Husein bin Umar Nasution. Pesantren ini merupakan pesantren tertua di Sumatera Utara. Awalnya pesantren ini hanya berawal dari halaqoh-halaqoh kecil yang digagas pendirinya.
Tidak hanya sekadar tertua di Sumut, tapi pesantren ini juga yang paling banyak memiliki santri. Secara keseluruhan jumlahnya mencapai 8.300 santri-santriwati yang berasal dari daerah yang berbeda-beda seperti Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Lampung, Jawa Barat, Timor Leste dan sampa Negara Malaysia. Di pesatren ini diajarkan oleh 220 staf pengajar.
Uniknya, jenjang pendidikan di pesantren ini hanya sampai kelas tujuh. Mukhlis, seorang staf, menjelaskan, pelajaran tidak jauh berbeda dengan sekolah umum lainnya. Kata Mukhlis pembelajaran pada ilmu agama yang paling terkenal adalah kitab kuning yang bisa dikatakan puncak dari segala ilmu. Pesantren ini juga memiliki laboratorium bahasa Arab dan Inggris.
Kata Mukhlis, alumni pesantren ini sudah banyak bekerja berbagai negara di Timur Tengah, Amerika Serikat, dan Asia Tenggara; seperti bekerja di istana Sultan Brunei Darusallam. (*)
Fadlun, Penjual Buku Kuno
Pernah Didatangi Guruh Soekarno Putra

Kalau mencari buku zaman dahulu (kuno) cari saja ke toko buku Fadlun di Toko buku bekas Lapangan Merdeka Medan. Toko milik pria berusia 44 tahun bernama Fadlun itu sudah sejak tahun 80-an menjual buku.
Pria yang tinggal di Jalan Rajawali, Gang Buntu, Medan Sunggal itu sudah lama bergelut menjadi penjual buku terutama buku-buku zaman dulu. Ada banyak koleksi buku-buku sejarah yagn terbit tahun 60-an hingga tahun 80-an. Toko Fadlun tepat berada di depan proyek yang bakal dijadikan lahan parkir penumpang kereta api. Saat pertama masuk ke dalam toko tampak lemari yang terbuat dari kayu dengan rak 3 lantai, satu kursi dan meja.
“Kebanyakan buku yang saya jual sudah lama, selain saya suka sejarah saya juga menjiwai buku-buku sejarah,” ujar Fadlun memulai pembicaraan saat ditemui di tokonya.
Pria berkacamata itu mengatakan kebanyakan buku zaman dulu yang dijualnya sudah tampak usang, warnanya sudah kuning.
“Saat kolektor buku datang mencari buki pernah berpesan sama saya jangan dibersihkan biarkan saja seperti apa adanya karena menurutnya nilai jualnya di situ,” jelas Fadlun.
Menurutnya, buku zaman dahulu jarang laku karena tidak semua orang berminat, kebanyakan lebih memilih buku yang terbaru. Tapi, katanya, buku zaman dahulu ini harga jualnya tinggi sampai jutaan rupiah. Buku zaman dahulu ada yang lokal dan mancanegara.
Menurutnya, ada orang yang cinta dengan buku zaman dahulu sehingga sampai mengeluarkan uang banyak untuk membelinya. Sebut saja seperti Ichwan Azhari, Ketua Pusat Ilmu Sosial Sejarah (Pusis) Unimed anak Presiden Soekarno, Guruh Soekarno Putera dan kolektor dari Malaysia.
“Pak Ichwan nyari buku-buku zaman dahulu ke sini. Guruh Soekarno Putra juga pernah datang mencari buku tentang bapaknya. Saat itu dia kampanye di Lapangan Merdeka tahun 2010 lalu. Saat itu ia membeli sebanyak 40 buku separuhnya dari toko saya dan sebagian dari toko teman-teman,” katanya.
Selain itu, katanya, pembeli juga datang dari dari Aceh dan Jakarta. Menurut Fadlun, dia mendapatkan buku zaman dahulu dengan membeli ke tukang loak.
Menurut Fadlun, koleksi buku zaman dahulunya sampai ratusan eksemplar, namun sudah banyak yang terjual. Harga buku zaman dahulu mulai dari puluhan ribu sampai jutaan rupiah tergantung tahunnya.
“Semakin tua tahun penerbitannya semakin mahal pula harga buku tersebut. Pendapatan bersih saya bisa mencapai Rp5 juta per bulan,” kata Fadlun.
Fadlun berharap dengan adanya relokasi yang dilakukan oleh Pemko Medan mereka nantinya lebih diperhatikan lagi. Karena menurutnya buku-bukunya susah didapat di toko. “Kasihan nanti kalau anak dan cucu kita tak tahu sejarah Indonesia,” pungkas Fadlun. (*)