Seabad Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru
Tetap Pertahankan Pondok Santri Seluas 2×3 Meter
Pondok Pesatren (Ponpes) Musthafawiyah yang sering disebut dengan Pesatren Purba Baru sudah berusia seabad. Di usia itu, pesantren ini masih mempertahankan fasilitas pemondokan santri yang tak modern. Hanya, sistem pendidikan yang diset modern.
M Sahbainy Nasution, Medan
Dari Medan, butuh 12 jam perjalanan darat untuk sampai ke pesantren yang
berada di pinggir aliran Aek (Sungai) Singolot tersebut. Cukup
melelahkan. Apalagi perjalanan harus melalui jalan berliku, menembus
perbukitan di Pegunungan Bukit Barisan. Belum lagi infrastruktur jalan
yang belum bisa diandalkan. Berlubang dan sempit. Tapi rasa letih terasa hilang begitu menghirup udara segar di Ponpes
Musthafawiyah yang berada di Desa Purba Baru, Kecamatan Lembah Sorik
Merapi, Kabupaten Mandailing Natal itu. Melihat santri memakai sarung dan berciri khas sorban putih menjadi
pemadangan yang menarik. Beberapa dari mereka juga memakai jas hitam –
tampaknya lebih untuk menghangatkan tubuh dari dinginnya udara di tempat
itu – membuat mata yang letih menjadi segar.
Belum lagi ketika melihat beberapa santri lainnya – baik lelaki dan
perempuan – memakai baju khas berwarna hijau, semuanya menjadi istimewa.
Ya, saat Sumut Pos hadir di sana, santri memang sedang memperingati
seabad usia pesantren mereka.Pesatren Musthafawiyah ini mememiliki 11 hektar yang terpakai untuk proses belajar dan mengajar serta pemondokan, sedangkan 20 hektar lagi dijadikan kebun, ternak hewan, dan selebihnya masih hutan. Saat ini jumlah santri sebanyak 8300 orang yang berasa dari berbagai daerah Sumatera Utara dan bahkan Indonesia. Untuk jumlah alumni, Ponpes ini memliki 116.000 orang.
Kekhasan Ponpes ini adalah pemondokan santri yang jauh dari modern. Tercatat ada 20 ribuan pondok berjejer. Tidak besar. Malah, sangat kecil. Ukurannya 2×3 meter. Pondok sempit dan hanya dipakai tidur ini berlapiskan atap terbuat dari daun kelapa dan beralas papan-papan yang sudah usang. Jangankan TV, radio dua band saja tak terlihat di pondok mungil itu. Menariknya lagi, pondok itu diisi oleh dua santri!
Seorang santri, Araman (13), baru selesai mandi di Aek Singolot yang tak jauh dari pondoknya. Dia berasal dari Kota Nopan. Dan, dia masih duduk di kelas 1 (satu). Sumut Pos berkesempatan mengintip isi pondoknya. Hasilnya, yang terlihat di dalam ruang kecil itu hanya beberapa pakaian dan satu kompor, dan lampu minyak.
Bertetangga dengan Araman, ada pondok yang ditempati Abdul Ghani (17) yang sudah kelas 5 (lima) yang berasal dari Berastagi, Anwar (17) juga kelas 5 (lima) dan Aliudin (17) yang masih kelas 4 (empat) yang sama-sama berasal dari kota Nopan.
Kata Anwar, dia mendapat banyak pelajaran karena tinggal di gubuk kecil itu seperti kemandirian. “Selain itu, menumbuhkan rasa kebersamaan,” kata santri yang bercita-cita jadi tentara itu.
Aek Singolot dan pesatren tak bisa dilepaskan karena sungai itu adalah saksi sejarah kehidupan para santri. Air di sungai itu bukanlah air yang tawar. Air sungai itu agak berasa kelat (sepat). Dan, dipercayai sebagai obat. Konon, air ini pernah didoakan oleh Syeikh Musthafa bin Husein bin Umar Nasution sebagai pendiri pondok pesatren.
Santri perempuan mendapati tempat yang berbeda dengan santri lelaki. Mereka tidak tinggal di pondok kecil pinggir sulngai dan Jalan Lintas Sumatera. Mereka diberikan tempat yang memang disediakan oleh pengurus pesantren. Bentuknya persis dengan asrama pesantren kebanyakan.
Satu ruangan yang dimaksud diisi oleh 25 orang. Satu di antaranya adalah Dina (17), santri asal Aceh Singkil yang duduk di kelas 4 (empat). Saat berbincang dengan Sumut Pos, Dina mengaku memilih pesantren di Purba Baru karena dianggapnya tempat itu beda dengan tempat lainnya. Terutama soal kedisiplinan.
Pesatren Musthafawiyah berdiri pada 1912 yang didirikan oleh Syeikh Musthafa bin Husein bin Umar Nasution. Pesantren ini merupakan pesantren tertua di Sumatera Utara. Awalnya pesantren ini hanya berawal dari halaqoh-halaqoh kecil yang digagas pendirinya.
Tidak hanya sekadar tertua di Sumut, tapi pesantren ini juga yang paling banyak memiliki santri. Secara keseluruhan jumlahnya mencapai 8.300 santri-santriwati yang berasal dari daerah yang berbeda-beda seperti Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Lampung, Jawa Barat, Timor Leste dan sampa Negara Malaysia. Di pesatren ini diajarkan oleh 220 staf pengajar.
Uniknya, jenjang pendidikan di pesantren ini hanya sampai kelas tujuh. Mukhlis, seorang staf, menjelaskan, pelajaran tidak jauh berbeda dengan sekolah umum lainnya. Kata Mukhlis pembelajaran pada ilmu agama yang paling terkenal adalah kitab kuning yang bisa dikatakan puncak dari segala ilmu. Pesantren ini juga memiliki laboratorium bahasa Arab dan Inggris.
Kata Mukhlis, alumni pesantren ini sudah banyak bekerja berbagai negara di Timur Tengah, Amerika Serikat, dan Asia Tenggara; seperti bekerja di istana Sultan Brunei Darusallam. (*)